Terminologi atau Istilah “DESA” yang diambil dari Jawa
sering menyebabkan kita terpengaruh oleh gambaran tentang keadaan suatu
daerah yang memiliki sistem bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi
yang intensif. Padahal sistem pertanian yang seperti itu hanya terdapat
di daerah Jawa, Bali, Lombok bagian barat, dan beberapa daerah di Batak,
daerah Agam di pegunungan Bukit Barisan di Minangkabau, daerah pantai
di Kalimantan Selatan, Makasar, Manado, serta daerah pantai di pulau
Nusa Tenggara. Daerah-daerah seperti itu hanya sebesar 10 sampai 11 %
saja dibandingkan luas total wilayah Indonesia dari Sabang sampai
Merauke. Jadi masih banyak macam bentuk atau gambaran desa lain di
seluruh Indonesia ini. Akan tetapi, istilah “desa” tersebut sulit diubah
untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan lues, karena
undang-undang tentang “Desapraja” telah menjadi suatu istilah yang
terlampau lazim dan resmi.
Walaupun penduduk Indonesia
sebagian besar yaitu mencapai duapertiga dari seluruh penduduk Indonesia
tinggal di Pulau Jawa (menurut sensus 1961), namun sepertiganya yang
lain perlu mendapat perhatian khusus juga, karena mereka yang bergelut
dalam perladangan juga merupakan bagian dari negara Indonesia.
Orang kota di Indonesia
sering membayangkan bahwa orang desa itu sebagai suatu masyarakat yang
kecil, rukun, tenang, tentram, seragam, terpencil, dan terbelakang.
Padahal telah kita ketahui bahwa tidak semua masyarakat desa memiliki
keadaan yang seperti itu.
Untuk mendapatkan pengertian
tentang desa masyarakat desa di Indonesia harus juga dicapai dengan
analisa pembanding terkendali (Controlled Comparison). Kebetulan wilayah
Indonesia kita ini memberikan suatu kesempatan yang sangat bagus untuk
menerapkan metode perbandingan serupa. Hal itu dikarenakan wilayah
Indonesia memiliki luas dari daerah-daerah kepulauan Nusantara yang
menyebabkan terjadinya aneka warna besar bentuk-bentuk masyarakat desa.
Akan tetapi dibawah aneka warna besar tersebut terdapat suatu dasar yang
sama yang menyebabkan adanya etnologisch studieveld Indonesia. Bahkan
dibagian Indonesia yang termasuk daerah kebudayaan Melanesia yaitu Irian
Barat masih juga bisa diterapkan metode perbandingan terkendali dengan
Austronesia sebagai dasar kesatuan.
Dari aneka warna tersebut,
ada berbagai sistem prinsip yang dapat dipakai untuk mengklasifikasikan
aneka bentuk desa tersebut dalam beberapa tipe yang khusus. Para ahli
hukum adat Indonesia telah mengajukan suatu klasifikasi bentuk desa
kedalam dua tipe persekutuan hukum yang didasarkan atas hubungan yang
mengikat kelompok manusia yaitu persekutuan hukum geologis (hubungan
kekerabatan), dan persekutuan hukum teritorial (hubungan tinggal dekat).
Selain kedua prinsip tersebut masih ada prinsip lain yang dapat
mengikat aktivitas masyarakat pedesaan yaitu prinsip tujuan khusus
(misalnya kebutuhan ekologis terutama yang bersangkutan dengan teknik
pertanian) dan prinsip ikatan dari atas (misalnya bentuk dan batas
wilayah masyarakat desa telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan sebagai bentuk kebijakan dari penguasa).
Dalam kenyatraan yang
terjadi di masyarakat, sering kita jumpai bahwa prinsip hubungan yang
terjadi pada masyarakat desa tidak hanya di akibatkan oleh satu prinsip,
namun bisa kombinasi antara dua, tiga, atau bahkan keempat prinsip
tersebut.
Secara umum gambaran dari
keadaan masyarakat desa yaitu suatu keadaan di mana masyarakatnya hidup
berdekatan dengan tetangga-tetangganya secara terus menerus, dengan
keadaan seperti itu kesempatan untuk bertengkar pun sangatlah banyak,
dan peristiwa peledakan dari keadaan-keadaan tegang sering kali terjadi.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi tersebut bisa terjadi di dalam
rumah tangga atau membesar menjalar ke masyarakat. Masalah-masalah yang
terjadi tersebut biasanya berkisar pada masalah tanah, kedudukan,
gengsi, perkawinan, perbedaan pendapat antara kaum tua dan muda atau
antara pria dan wanita.
Menurut pandangan orang kota
terhadap desa bahwa desa bukan merupakan tempat bekerja namun tempat
ketentraman, dan ketentraman itu ada pada hakekat hidup yang sebenarnya.
Pada kenyataannya kehidupan masyarakat yang hidup di desa justru dengan
bekerja keras merupakan syarat yang penting untuk dapat bertahan hidup.
Jika ada orang yang berpendirian bahwa supaya bisa maju orang desa
harus bekerja lebih keras maka pernyataan itu tidak sepenuhnya benar
karena pada kenyataannya masyarakat desa sudah bekerja keras dengan
bercocok tanam seharian kepanasan di sawah, kemudian pada tengah malam
harus menjenguk ke sawah untuk mendapatkan giliran pengairan ketika
musim kemarau. Namun walaupun telah bekerja keras, masyarakat desa di
Indonesia ini masih tergolong memiliki perekonomian yang terbelakang dan
harus dikembangkan dengan berbagai cara. Seorang ahli ekonomi, B.F.
Hoselitz, pernah mengatakan dalam bukunya Incentives in
Industrialization, bahwa untuk membangun masyarakat yang ekonominya
terbelakang itu harus bisa menyediakan suatu sistem perangsang yang
dapat menarik aktivitet warga masyarakat. Sistem perangsang itu harus
sedemikian rupa sehingga dapat memperbesar kegiatan orang bekerja,
memperbesar keberanian untuk mengambil resiko dalam hal merubah
revolusioner cara-cara usaha yang lama.
Didalam masyarakat desa yang
berdasarkan bercocok tanam, orang biasanya bekerja keras dalam
masa-masa tertentu tetapi mengalami kelegaan bekerja dalam masa-masa
yang lain. Di dalam masa-masa yang paling sibuk, tenaga keluarga, batih,
atau keluarga luas biasanaya juga tidak cukup untuk dapat menyelesaikan
seluruh pekerjaan di ladang atau sawah. Sehingga agar pekerjaan bisa
selesai mereka biasanya menggunakan tenaga kerja tambahan dengan menyewa
atau meminta bantuan ke tetangga. Mengenai tenaga kerja yang di sewa,
tenaga kerja tersebut disebut buruh tani. Buruh tani ada yang sebenarnya
juga memiliki tanah sendiri namun juga ada buruh tani yang tidak
memiliki tanah sehinng ia benar-benar mengandalkan pekerjaan tersebut
untuk membiayai hidupnya dan keluarganya. Selain itu juga terdapat
sistem tolong menolongn yang dalam bahasa Jawa biasanya disebut
“Sambatan” (Sambat=Minta tolong), atau dalam bahasa Jerman disebut
bitabeit (bitten=minta), dan secara umum oleh orang Indonesia disebut
gotong royong. Dalam gotong royong ini masyarakat tidak memikirkan
kompensasi, dalam masyarakat jawa gotong royong seperti ini tidak hanya
terjadi di bidang pertanian saja, namun juga dalam kegiatan pembangunan
rumah, upacara adat, dan upacara kematian. Dalam hal gotong royong pada
kegiatan pertanian, dan pembangunan rumah masyarakat sangat berharap
kelak akan mendapat pertolongan balasan, namun dalam hal gotong royong
dalam prosesi upacara kematian masyarakat tanpa berfikir panjang akan
menolong secara otomatis.
Selain bekerjasama dalam hal
membantu urusan pribadi seseorang, gotong royong juga dilakukan untuk
kepentingan yang bersifat umum dan bermanfaat bagi orang banyak yang
secara umum disebut sebagai kegiatan lerja bakti. Kegiatan tersebut
diantaranya seperti: membersihkan lingkungan, membersihkan sungai,
membangun jembatan, dan membangun tempat ibadah.
Menurut hasil analisis ilmu
sosial, sistem tolong menolong yang terjadi pada masyarakat desa ini
merupakan suatu teknih pengerahan tenaga yang tidak membutuhkan
diferensiasi tenaga, dimana semua orang dapat mengerjakan semua tahap
dalam penyelesaiannya. Sistem tolong-menolong itu terjadi atas dasar
hubungan yang intensif antara orang-orang yang hidup berhadap muka
artinya mereka hidup dalam suatu kelompok kecil yang mengedepankan
prinsip-prinsip kelompok primer sehingga saling mengenal baik satu sama
lain. Jiwa atau semangat gotong royong itu dapat kita artikan sebagai
perasaan rela terhadap sesama warga masyarakat, sikap yang mengandung
pengertian atau dengan istilah Ferdinand Tonnies, Verstandnis, terhadap
kebutuhan sesama warga masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini,
kebutuhan umum akan dinilai lebih tinggi dari pada kebutuhan pribadi,
sehingga bekerja bakti untuk umum dinilai sebagai suatu kegiatan yang
terpuji dan mulia. Lawan dari jiwa gotong royong adalah jiwa
individualis yang biasanya dimiliki oleh masyarakat perkotaan.
Gejala sosial lain yang
terjadi pada masyarakat desa di Indonesia yaitu tertanamnya jiwa
Musyawarah. Maksutnya yaitu keputusan-keputusan yang di ambil untuk
kepentingan umum (masyarakat desa) tidak berdasarkan suatu mayoritas
yang menganut suatu pendirian tertentu, namun keputusan tersebut dibuat
oleh seluruh anggota masyarakat yang ikut dalam rapat dan seolah-olah
mereka semua adalah suatu badan. Menurut hasil penelitian para ahli
hukum adat, misalnya Ter Haar, mengatakan bahwa musyawarah itu
diibaratkan terutama sebagai suatu cara merapat, tetapi dalam hal bicara
tentang pranata sosial tersebut kita sebaiknya membedakan antara dua
hal, yaitu musyawarah sebagai suatu cara berapat dan musyawarah sebagai
semangat yang menjiwai seluruh kebudayaan dan masyarakat. Musyawarah
sebagai cara merapat harus ada kekuatan-kekuatan tokoh-tokoh yang dapat
mendorong proses mencocokkan dan mengintegrasikan pendapat. Namun pada
kenyataannya terkadang terdapat suatu perbedaan pendapat yang sulit
dibuatkan keputusan bahkan hingga berbulan-bulan. Jiwa musyawarah ini
merupakan suatu exstensi dari jiwa gotong royong yang dimiliki oleh
penduduk desa.
Orang kota yang mengenal
desa tidak dari dalam biasanya membayangkan bahwa desa itu terbentuk
dari kelompok-kelompok manusia yang seragam, sama rata sama rasa, taga
samo tinggi duduo samo rendah. Mereka sering tidak tahu bahwa dalam
hampir di semua masyarakat desa di Indonesia juga ada penggolongan
secara berkelas yang sering kita sebut sebagai stratifikasi sosial. Para
ahli hukum adat misalnya Vollenhoven, pernah membagi masyarakat desa
kedalam kelas kelas dari bawah keatas sebagai berikut: 1. Petani yang
tidak memiliki tanah pertanian dan tidak memiliki tanah pekarangan untuk
rumah, 2. Petani yang memiliki tanah pertanian tetapi tidak memiliki
pekarangan untuk rumah, 3. Petani yang memiliki tanah pertanian maupun
tanah pekarangan rumah. Bentuk pembagian lain yang dilakukan oleh Aidit,
membagi masyarakat menjadi liba lapisan sosial yaitu: 1. Buruh tani dan
buruh perkebunan yang tidak memiliki alat produksi, 2. Tani miskin yang
tidak mempunyai alat-alat produksi lengkap dan yang memiliki sedikit
tanah namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, 3.
Tani sedang yang memiliki alat-alat produksi dan tanah sendiri, 4. Tani
kaya yang mempunyai alat-alat produksi dan tanah sendiri ditambah dengan
tanah yang disewa atau digadaikan ke petani miskin dan yang
mengeksploitasi buruh tani, 5. Tuan-tuan tanah yang memiliki tanah
puluhan hingga ratusan hektar yang dikerjakan dengan mengeksploitasi
petani miskin atau buruh tani. Dalam pola pembagian pelapisan sosial
masyarakat desa dikenal dua pola yaitu pola berdasarkan kepada sifat
senioritet dari nenek moyang kelompok-kelompok kekerabatan atau
kelompok-kelompok individu dan pola kedua yaitu pola yang didasarkan
atas identifikasi dari suatu golongan dalam masyarakat dengan
golongan-golongan lain, kerabat-kerabat atau jabatan yang dipandang
tinggi oleh warga desa. Golongan-golongan lain, kerbat-kerabat atau
jabatan-jabatan yang terhormat itu memang kadang ada dalam masyarakat
desa itu sendiri, tetapi kadang-kadang diduga terjadi diluar desa dan
hanya hidup sebagai suatu konsepsi dalam pikiran atau dalam sistem
pelembagaan warga desa. Contoh golongan tersebut yaitu golongan
orang-orang bangsawan yang dikonsepsi oleh orang desa hanya dalam
angan-angannya.
Adapun bentuk pelapisan
sosial lain yang berlaku di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di
daerah pedesaan di Bali yaitu sistem Kasta. Sistem kasta yang di kenal
sebagai sistem stratifikasi sosial tertutup ini setelah dianalisis lebih
mendalam maka sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat tersebut
tidak lain dari suatu bentuk kompleks dari pola kedua. Dalam
stratifikasi sosial ini, orang-orang yang memegang jabatan tinggi sebai
anggota pamong desa, sebagai pemuka upacara agama, atau diduga sebagai
orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang bangsawan
di pusat-pusat kerajaan. Penilaian tinggi ini dikonkritkan dengan suatu
sistem perlembagaan yang meniru suatu contoh yang diambil dari
kesusastraan Jawa-Hindhu pada zaman dahulu.
Tata pemerintahan yang
berlaku di masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya dapat
diabstraksikan menjadi tiga pola pemerintahan yaitu: 1. Tata
pemerintahan desa yang terdiri dari suatu dewan desa, 2. Tata
pemerintahan desa yang terdiri dari dua orang kepala desa, dan 3. Tata
pemerintahan desa yang bersifat tunggal, yang terdiri dari satu orang
kepala desa.
Akibat penjajahan pemerintah
Belanda, mempengaruhi sistem pemerintahan yang berlaku di pedesaan yang
terdiri dari seorang kepala desa beserta pejabat-pejabat pembantu
lainnya. Pejabat ini merupakan tokoh pemerintah yang bertugas
mengumumkan dan melaksanakan instruksi-instruksi dari pemerintah,
memungut pajak, membagi pembagian pemerintah, mengalokasi bantuan
keuangan dari pemerintah dsb. Kekuasan pada desa sebenarnya datang dari
atas, dari sokongan pemerintah pusat dan tidak dari dalam masyarakat
desa, karena jabatan tidak disandarkan atas syarat-syarat pemimpin yang
tercantum dalam adat. Demikian dalam banyak masyarakat desa di Indonesia
jabatan kepala desa belum secara sepenuhnya terintegrasikan kedalam
stuktur masyarakat desa, walaupun di beberapa daerah proses
pengintegrasiannya itu tampak sudah agak lebih jauh berjalan dari pada
daerah lain.
Dalam hal melaksanakan tugas
raksasa, membangun masyarakat pedesaan dinegeri kita, yang antara lain
mengandung usaha untuk merubah alam pikiran, nilai-nilai hidup, serta
berbagai unsur dalam adat istiadat dari suatu bagian yang dominan dari
rakyat negeri kita, kearah modernisasi, maka suatu pengartian yang
mendalam tentang ciri-ciri dari kehidupan masyarakat itu merupakan suatu
hal yang mutlak. Kemudian karena masyarakat desa itu bukan merupakan
suatu kesatuan sosial yang hidup tunggal di muka bumi, tetapi terjaring
kedalam sistem-sistem hubungan yang lebih luas, ialah dengan desa-desa
sekitarnya, dengan daerah administratifnya, dan dengan masyarakat besar
dari negaranya, maka suatu pengertian tentang sistem-sistem hubungan
dari masyarakat desa dengan dunia luar desa itu juga suatu hal yang
mutlak.
Di Indonesia itu sebenarnya
tidak ada suatu desa yang benar-benar terpencil secara rohaniah, dalam
arti bahwa tidak ada orang-orang diantara warganya yang tidak mempunyai
kesadaran tentang adanya dunia luar batas desanya, walaupun mengenai hal
luas sempitny
Di Indonesia itu sebenarnya
tidak ada suatu desa yang benar-benar terpencil secara rohaniah, dalam
arti bahwa tidak ada orang-orang diantara warganya yang tidak mempunyai
kesadaran tentang adanya dunia luar batas desanya, walaupun mengenai hal
luas sempitnya kesadaran tadi tentu ada perbedaannya. Hampir semua
masyarakat desa di Indonesia sudah pernah merasakan kekuasaan-kekuasaan
yang lebih tinggi diatas dirinya, banyak yang sudah mengalami pengaruh
kerajaan-kerajaan pribumi, atau lain-lain organisasi administratif
buatan pemerintah-pemerintah atasan.
Masyarakat pedesaan di
Indonesia itu rupa-rupanya cocok dengan suatu tipe masyarakat yang oleh
ahli antropologi, R. Redfield disebut peasant society, yaitu rakyat
pedesaan yang terutama hidup dari pertanian, yang terikat lahir dan
batin kepada tanah yang mereka duduki, tetapi yang sebaliknya juga
merasakan diri sebagai dari suatu kesatuan kebudayaan atau suatu tradisi
yang lebih besar. Rakyat itu juga menganggap kehidupan masyarakatnya
hanya sebagai bagian bawah dari tradisi yang lebih luas itu, sedangkan
bagian atasannya yang mereka pandang sebagai suatu kehidupan masyarakat
yang lebih halus dan maju berada didalam masyarakat kota.
Walaupun sebagian besar dari
rakyat pedesaan di Indolongan itu sebagai golongan peasant, sudah tentu
mempunyai kesadng laluaran tentang adanya tingkat-tingkat kehidupan dan
tentang adanya suatu dunia yang lain diatas desanya sendiri, sebaliknya
tidak semua rakyat pedesaan itu mempunyai juga suatu pengertian dan
persepsi yang luas tentang tingkat-tingkat kehidupan dari dunia atasan
itu. Keterangan dalam uraian di atas memang memberi kesan bahwa orang
desa di Indonesia itu tidak semuanya terpencil dan tidak semuanya
keterbelakang dalam hal pengetahuan tentang teknologi, informasi, dan
pengetahuan-pengetahuan dunia luar.
Posting Komentar
Terima kasih Atas Komentar Anda